Semoga Yang Tahu Tidak Selalu Menipu


                Banyak orang yang telah berpendidikan tinggi. Namun di Indonesia ini angka dominan lebih besar yang tidak berpendidikan ataupun yang berpendidikan rendah. Jadi, orang yang tahu hanya mereka yang berkecimpung di dalamnya.

                Kebijakan-kebijakan pemerintah, program-program baru, sampai alur penyelesaian masalah, banyak dari kalangan rendah yang hanya ngikut pada mereka yang tahu. Tidak dipungkiri jalan yang ditempuh seringkali berlika-liku. Yang seharusnya nganan dibelokkan ke kiri, yang seharusnya lurus dibuat berliku, dan yang seharusnya hanya 2 meter jadi 200 meter. Sehingga perlu banyak biaya tambahan yang dikeluarkan oleh pengikut. Dan saya suudzon uangnya masuk kepada mereka yang tahu.

                Jangankan soal kebijakan, untuk memilih pemimpin saja kami masih ngikut. Mereka yang datang pada kami, itulah yang kami tahu. Apalagi kalau sudah menggelar acara yang meriah. Ditambah lagi kalau hendak pulang bagi-bagi uang ataupun sembako. Fix, merekalah yang akan dipilih ketika pemilu. Entah karena atmosfir dan hawa baik yang mereka bawa atau sekadar rasa sungkan bahkan keterpaksaan pun ikut membimbangkan.

                Hmm… Tulisan ini hanya sekadar opini belaka. Tidak berdasar, jadi tidak perlu diperhatikan. Buang saja ini tulisan.

                Pada persoalan yang sedang hangat menurut saya. Atau sudah kadaluarsa di telinga rekan yang lain, saya tak tahu. Yang pasti ini merupakan keresahan baru. Ketika hendak berangkat ke sekolah, kami disamperin sama salah satu perwakialan ketua RT. Hendak memastikan apakah terdaftar dalam jajaran keluarga yang akan mempetokkan sertifikat. Samar saya dengar bahwa mereka pun menarik biaya dari adanya program serentak yang dilaksanakan pemkot Surabaya itu.

                Pernah terdengar bahwa program itu gratis bagi warga Kota Surabaya. Jadi cukup merisaukan bagi diri saya pribadi. Tetapi tidak mau risau dengan ketidakpastian, saya coba menenangkan diri. Berpikir sejenak mungkin beda ya antara info lama dengan kejadian saat ini. Oke.. saya coba lupakan kejadian itu.

                Berangkatlah kami yang akan mengantarkan adik ke sekolah. Di tengah perjalanan, kami berhenti untuk memastikan lagi. Bla blab la bla mereka berbicara. Sayapun nyeletuk “Bukannya itu gratis ya?”. Dia menjawab “Iya kalau ngurus sendiri.”. hmm… okelah jadi kami hanya terbentur oleh akses untuk mengurus sendiri. Sehingga terpaksa untuk mengikuti alur dari mereka yang tahu.

                Dalam perjalanan, saya mendapat info baru kalau dengar-dengar gelombang pertama yang ngurus sertifikat tanah itu bayarnya RP….. tak usah dikasih tahu. Yang pasti tidak kecil banget. Yang pasti cukup usaha buat warga di sekitaran sana untuk membayarnya. Karena juga mereka bukan orang yang serba berkecukupan. Dan nanti pada gelombang ke dua kedengarannya aka ada kenaikan sampai dua kali lipat.

                Saya tidak tahu jalan pikiran mereka. Atau kedangkalan otak saya yang tidak bisa berpikir luas ataupun kebodohan saya yang tidak tahu info-info baru. ‘kalau benar bahwa surat itu didapat secara gratis kalau mengurus sendiri. Kemudian okelah.. karena keterbatasan akses yang dapat kami lakukan, ngikut aja dulu pada mereka yang tahu. Tetapi biaya yang harus dikeluarkan tidak kecil. Okelah… mungkin karena juga berurusan dengan hal yang besar yaitu tanah. Dan yang tak sanggup masuk ke dalam pikiran saya yaitu kenapa kok ada gelombang-gelombang?

 Okelah.. kalau ada gelombang-gelombang mungkin karena yang diurus banyak tanah sehingga tidak bisa sekaligus. Tapi kenapa kok pada gelombang selanjutnya biaya yang dikeluarkan itu lebih besar? Hingga terdengar dua kali lipat. LAH.. lalu siapa saja ya yang berada di gelombang pertama? Apakah yang benar-benar tidak mampu? Atau keluarga yang dekat dengan yang mengurus sertifikasi tanah itu?’.

                Saya bersyukur bisa bersuudzon biar tahu kejelasan info. Yang terpenting sikap yang ditunjukkan tidak berlaku bodoh saja pada mereka yang tahu. Semoga mereka yang tahu benar-benar dapat membantu bukan malah menipu. Okelah.. kalu berkilah itu hanya memanfaatkan situasi dan juga sebagai pensejahteraan ekonomi pada mereka yang berkecimpung.. hmm…..

                Saya rasa tidak hanya saya yang tidak tahu akan kejelasan info itu. Karena ketika bertanya pada beberapa teman, merekapun turut menjawab tidak tahu. Lalu siapakah yang bisa ditanyain mengenai hal tersebut???

                Apakah selalu begini alur program yang sebetulnya baik itu. Apakah harus melewati jalan yang panjang dan berliku? Sehingga biaya yang dikeluarkan tadi juga seperti itu? Kalau saja boleh memilih, mending mereka yang berada di pemerintahan datang langsung pada sasaran. Lingkup RT atau RW hanya sebagai batu loncatan (tempat mengumpulkan persyaratan saja). Meski harus ada dana yang dikeluarkan. Yang terpenting dana itu tepat pada sasaran. Masuk dalam saku mereka yang benar-benar bekerja. Bukan yang samar macam nih.

                Kalau berkaca pada salah satu ceramah yang pernah saya dengar dari Mbah Nun. Ketika beliau berada satu panggung di maiyah dengan kepala desa. Kemudian ada salah satu warga yang mengeluh bahwa kekurangan bla bla bla di rumahnya. Kemudian pak kades pun dengan gagah menjawab “ya, nanti ibu kami beri surat undangan untuk datang ke kantor kami. AKAN KAMI PERLANCAR DAN URUS SECEPATNYA. “

                Setelah itu giliran Mbah Nun yang memegang microphone. Dengan santun beliau menambahi “Ya bagus usaha bapak. Tapi alangkah lebih baiknya jika pihak kantor yang datang kepada rumah salah satu warga itu. Karena bagimanapun kan tugas pemimpin yang harus menganyomi masyarakat.”

                Hanya itulah yang dapat kami sajikan. Semoga bermanfaat dan bisa menjadi kabar baru. Jikalau ada tanggapan atau info baru sangat kami tunggu di kolom komentar…..

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Orang Gila di Mata Hukum