Gajah Manggung



            Uma tinggal di sebuah Perumahan. Setiap hari dilanda oleh kesepian. Selepas pulang sekolah, dia hanya bisa menikmati empuknya kasur. Memanjakan matanya dengan sinetron-sinetron percintaan. Sesekali dia menyumpel telinganya dengan suara kemrisik dari radio android.

            Tidak biasanya di sebuah perumahan. Di sebelah rumah Uma sangatlah berisik. Padahal masih dalam waktu yang seharusnya digunakan untuk tidur. Melepas keletihan sesaat dari segala aktivitas persekolahan.

            Pemilik rumah itu memiliki putra seusia Uma. Kaka namanya. Adiknya bernama Amir. Antara Amir dan Kaka tidak pernah tidak akur. Karena jarang sekali mereka berbicara. Sama- sama asik dengan permainannya. Jika Kaka sibuk dengan gadget, maka Amir yang masih di tingkat TK sedang asik dengan binatang peliharaannya.

            Ya… Amir memelihara sekawanan binatang. Baik buas maupun lunak, baik besar maupun kecil, baik yang berbulu maupun yang tidak berbulu. Entah hanya kulit atau digantikan dengan sisik. Tapi itu semua rata ketika sudah berada di depan Amir. Bulunya sama yaitu plastik dan mereka semua bisu. Karena hanya Amir lah yang pantas untuk berbicara. Sebagai dalang yang berkuasa. Namun bukan yang mencipta.

            Gajah yang berdaulat memimpin penuh sekelompok hewan. Dipilih karena telinganya lebar. Semua kritikan dan saran akan mudah masuk dari penjuru manapun datangnya. Hidungnya yang panjang mampu mencium kerisauan-kerisauan dari rakyatnya. Termasuk diantara rakyatnya yaitu kancil yang tidak banyak tingkah. Namun atas kepalanya penuh dengan jalan-jalan pilihan yang masih hendak dipilih, mana yang bisa menghantarkan ke pintu kebaikan. 

            Gajah ini sangat ahli dalam berkomunikasi. Tidak hanya melalui suara. Penglihatan dan gerik pun bisa menjadi isyarat jitu. Sayangnya hewan yang dipimpinnya tak lagi semangat mencari tahu. Jika komunikasinya dengan mata dan gerik, itu apa pertanda.

            Gajah mudah gampang dimangsa. Tidak berpengalaman dan masih lunak raganya. Seringkali menjadi korban. Entah karena kelemahannya sendiri, atau dibiarkan jadi tumbal untuk melindungi gajah yang tua. Itu mah masih biasa. Di dunia nyata, bukan hanya yang lebah menjadi korban. Melainkan yang tidak bisa ngikut dalam rencana, itu sasaran selanjutnya. Apalagi gempar menyuarakan kebenaran. Ah… bakalan tidak lama.

            Gajah-gajah biasa hidup berkelompok. Kalau sudah di dalam kelompoknya, maka sangat besar kekuatan yang dihimpun. Pemangsa bakal tidak ada yang berani mendekat. Sehingga dia dengan tegar menjalankan rencana perbaikan. Membangun kerajaannya sebaik-baiknya. Disusunlah peraturan-peraturan yang mensejahterakan. Memberi bantuan pada hewan lain yang kesusahan. Karena sungguh masih sangat banyak gajah yang memiliki hati yang bersih.

            Namun gajah yang satu ini memiliki keunikan.

“ Untuk sang raja, waktu dan tempat kami sediakan” Sambut dari tupai yang dengan eloknya membuat suasana.

            Perkumpulan yang satu ini beda dari biasanya. Pertemuan satu wilayah yang diadakan tidak mesti setahun sekali. Dengan gagah, gajah naik ke atas gelondongan kayu besar yang lapuk dan banyak lubangnya itu. Namun masih kuat diberi beban pada sepertiga titik yang berada tepat di tengah.

Kraraaakkk.. Kaki kanannya masuk di dalam lubang kecil. Dia salah menginjak bagian. Kayu yang rentan itu memang seharusnya diganti. Karena sudah sangat tua usianya. Namun, tidak ada yang menggantikannya. Karena kayu-kayu sudah banyak ditebangi dan dibawa manusia. Ohhh… kami pun tak turut disisahinya.

Raja yang hatinya penuh kebaikan itu tanpa berkata. Dia memendam panuh sakit yang diderita. Pun berlaku demikian karena tak mau kawannya gaduh saling menawarkan pertolongan. Bagitu juga dengan Uma. Dia selalu diam karena tidak ingin menambah banyak perhatian. Atau malah diamnya semakin menarik perhatian?

“Wahai rakyatku yang selalu berada dalam hati sebagai kawan. Mari sama-sama menjaga kelestarian hutan. Dari tangan penjahat dan perampok. Rampok saat ini pintar-pintar. Seringkali menyamar. Benda segajah pun muat dimasukkan sakunya.”

Tanpa sadar dia mengibaratkan dirinya sendiri.

“ Wahai rakyatku sekalian yang selalu berada dalam hati sebagai kawan. Mari sama-sama menjaga kelestarian hutan. ….”

“Oiii tema kita bukan kelestarian hutan. Tapi kelestarian lingkungan”

Sahut Obet teman sekelas Uma yang semula matanya sayup. Nampaknya dia salah penafsiran. Atau karena terpengaruh oleh pidato Amir yang mengibaratkan dirinya sebagai raja hutan. Memang ketika Amir bermain, sangat kencang suaranya. Terkadang dia tertawa hingga terbahak-bahak. Sesaat menangis tersedu-sedu. Bingung aka situasi zaman now.

Karena malu, Uma tidak meneruskan deklarasi kepada rakyatnya di hutan. Bu guru langsung mengambil alih perhatian kelas yang sedang gaduh mengolok penampilan Uma.

“Sudah-sudah tidak boleh mengolok teman. Karena mengolok teman itu perbuatan yang diarang agama. Maka  kita harus tetap melestarikan hutan.”

Kelaspun disudahi oleh dentingan bel 3 kali….


Comments

Popular posts from this blog

Orang Gila di Mata Hukum