Sastra 17:
Duduklah, maka kau akan tercipta

Duduklah maka kau akan tercipta. Ha? Maksudnya?
     Bukankah kita memang sudah diciptakan dari dahulu kala? Sejak kita mampu memekikkan suara yang pertama kali. Kalau tidak, maka semua yang menyaksikan bakal gempar dan khawatir. Karena apa? Kita tidak menyambut mereka dengan sapaan. Mereka akan bersedih. Dan yang pasti akan dilakukan pertama kali adalah menepuk-nepuk bokong kita.
Oh bukan itu. Tapi dua belas tahun setelah itu. Tapi masih kata orang juga sih. Setelah kita lepas dari sekolah dasar. Kata mereka saat itulah aku harus mengeksplore diri. Bergerak ke sana ke mari. Berbuat segala hal yang aku suka. Tapi tidak bisa.
Keadaan menekanku. Tidak memungkinkan. Aku masih sangat dini. Bukan dari usia, melainkan dini di pandangan orangtua. Tidak hanya itu. Kemampuanku juga masih sangat dini untuk mampu beradaptasi dengan lingkungan luar. Terutama mall. Oh tidak, aku masih belum bisa. Jadi itu tidak berlaku bagiku.
“Oh berarti bukan saat itu. Tunggu tiga tahun lagi.” Mungkin iya. Aku harus menahan diri tiga tahun lamanya. Waktu yang lama? Tidak. Karena aku sangat menikmati di dalam sekolah. Bukan karena pelajarannya. Melainkan bermain-bermain ria. Baik dari tingkah maupun pikiran juga. ya… itu memang saat-saat indah tapi aku masih saja belum merasakan kebebasan juga.
Bergerakku hanya di dalam saja. Tak bisa keluar seperti yang lain. bahkan dari mereka sudah ada beberapa yang keluarnya tidak sendirian. Melainkan ber—tiga. Dengan salah satu dari mereka tidak terlihat oleh mata telanjang. Yang lebih ekstrim sebagian dari mereka suka berlaku yang ekstrim-ekstrim. Entah apa? Ketika itu aku hanya bisa membayangkan saja.
Hmmm berarti ya bukan saat itu. Setelahnya , pasti kau akan merasakannya. Ternyata benar. Saat itu aku mulai bisa merasakan udara di segala macam waktu. Aku mulai bebas. Tapi masih hanya sebatas bebas bergerak dan juga bebas melawan. Melawan untuk menemukan kebebasan. Kepada orang lain. yang sangat dekat. Tapi ku lawan, hingga benar-benar menemukan kebebasan.
Hanya sebatas bebas. Iya. Bukankah memang itu yang kamu cari? Bukan hanya itu. Aku ingin merasa bahwa diriku benar-benar tercipta. Selama ini terus bergerak tanpa arti. Berjalan. Berlari. Mengejar sesuatu yang tidak pasti. Tidak kosong, tapi tak penuh arti.
Kemudian aku bertemu sebagian orang. Di situ aku dipersilahkan untuk duduk. Tapi sungkan rasanya. Kalian pasti tahu kalau orang jawa itu sungkanan. Bukan malu. Melainkan lebih mengedepankan rasa hormat. Kalau sudah dipaksa banget baru mau.
“Sini duduklah nak sejenak. Jangan terus berkeliaran. Cobalah suasana baru.”
Singkat cerita ternyata benar. Duduk sejenak itu sangat perlu. Bukan menghindar dari segala macam tanggungjawab. Bukan juga lalai dalam segala amanah. Memang pasti akan ada beberapa yang memalingkan wajah.
Duduk untuk mencipta. Duduk untuk berkarya. Meski tidak seberapa, tapi sangat berarti juga. duduk untuk membaca. Duduk untuk bercerita. Meski tidak seberapa, tapi berguna juga. Namun tidak untuk terus diam. Karena membaca bukan hanya diam. Membaca meski tidak bisa baca.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Orang Gila di Mata Hukum