Sastra 15:
Mendongak Kagum dan Sungkan
Saya rasa kurang enak jika
pagelaran, pesta pemilihan pemimpin di suatu tempat itu disamakan dengan cara
pemilihan mereka yang berada di atas. Yang di atas kita namai pemerintah. Sedangkan
yang mencontoh tatanan pemerintahan mungkin lebih enak di kelas aja lah yau. Pemilihan
ketua kelas.
Pemerintah yang selama ini
dikoreksi karena keragu-raguan figure pemimpin yang ternyata masih belum tepat
untuk memimpin. Itu bukan kata saya, melainkan kiranya banyak yang berpikiran
demikian. Soal data. Lihat aja teman-teman sebelah. Tetapi tatanan itu masih
saja dicontoh dalam kelas.
Dididik untuk saling berseteru. Tidak
hanya soal wacana, pemikiran para ketua. Tetapi siapa saja yang berada di balik
itu semua. Dibuat kubu-kubu yang dengan usaha sangat keras untuk memenangkan
salah satu calon. Poster dimana-mana. OA dibuatnya. Jargon-jargon atau sesuatu
yang dikhususkan untuk ciri salah satu calon.
Alhasil semua jadi tahu. Siapa yang
berada di barisan A dan siapa yang berada di barisan B. memiliki kepentingan
masing-masing. Tujuannya juga masing-masing. Meski dalam satu barisan,
perbedaan kepentingan sangat mungkin ada. Tapi harus tetap fokus pada tujuan
yang sama. Yaitu menjatuhkan calon satunya.
Ya… menurut saya bukan mendongakkan
calon karena pikiran-pikirannya, wacananya, kemampuannya, dll. Tapi ya tadi,
adalah menjatuhkan calon yang lain adalah tujuan utama. Karena emang adanya
persaingan itu harus ada yang dijatuhkan. Coba kita rasa. Memang benar terasa. Kalaulah
ingin mendapatkan satu kedudukan dengan kekuasaan. Apa iya rasa tulus ikhlas
dengan kalah sebab pikirannya kalah itu bisa dilakukan? Emang gitu ya
kodratnya. Akupun juga harus menerima.
Asik tapi, asik banget kalau yang
bersaing itu sundul-sundulan. Atau adu juggling mungkin. Atau lomba lari. Atau cerdas
cermat matematika. Bukan bahasa Indonesia yang dijadikannya hanya sebagai
wacana. Persaingan yang memang bisa benar dilihat dan disaksikan betul jelas
parameter kemenangannya. Kalau lomba lari ya mereka yang dengan waktu paling
singkat untuk menempuh meter yang sama itulah pemenangnya, dan lain sebagainya.
Tapi, bisa ndak ya. Keren banget
sepertinya kalau memang bisa. Siapapun yang mencalonkan diri itu seperti
peserta lomba lari. Sebelum pergelatan akbar di tengah lapang, mereka sama-sama
berlatih bareng. Menyusun usaha, mengetahui karakteristik dan cara untuk menang
lomba. Lalu ketika perlombaan baru benar-benar bersaing kemampuan. Bukan karena
banyaknya kenalan dukungan. Supporter hanya sebagai pelecut mental para peserta
lomba. Dan yang terpenting tidak saling sikut-sikutan karena peserta lomba lari
sudah memiliki jalur lintasan masing-masing.
Jadi kalau seperti itu memang butuh
waktu yang lama untuk persiapan. Tidak satu-dua bulan untuk mengkampanyekan. Usaha
benar-benar usaha. Jurinya juga jadi enak bisa lama mikir untuk milih siapa
pemenangnya.
Semoga saja jika memang harus
mencontoh pemerintah, kejelekan mereka tidak dicontohnya juga. Kalau tidak,
nanti calonnya bakal saling gontok-gontokan. Atau kalau semisal bukan calonnya,
yang mendukungnya yang gontok-gontokan. Karena kedua kubu tidak saling dekat. Atau
juga kurang usaha untuk saling mendekat. Seakan ada sekat. Apalah itu bentuk
sekatnya. Aku tak tahu.
Seharusnya sih kalau cuman di
lingkup kelas yang ruangnya tidak besar, semua orang harusnya saling kenal. Bahkan
akrab menjadi teman bahkan sahabat. Jadi ketika bersaing adalah kesenangan dan
senyuman yang saling muncul. Pengungkapan ide-ide, bukan penyangkalan mereka
punya ide. Karena seperti masyarakat jawa yang sungkanan, kalau sama teman
sendiri rasa sungkan itu sangat dalam.
Sungkan iku apik banget loh..
Comments
Post a Comment