NL 3
Pagi
ini berat dengan kebangunannya melawan mata yang baru saja dilelapkannya.
Terbawa oleh hasrat yang meledak di malam hari. Menginginkan kepuasan penuh
dari mata dan hati. Kecantikan yang ditimbulkan dari fisik yang memesona. Terurai
keelokan tubuhnya itu. Suaranya yang halus dan lembut itu terlukis dalam setiap
kata-kata.
Bukan apa-apa, cuman baca buku.
Ya… dirinya yang sedang mewajibkan
setiap malam harus membaca setidaknya satu judul puisi, satu lembar novel, dan
tak lupa satu halaman kitab suci. Seringkali luput dari cengkraman pedoman.
Bacaan terpentingnya bukanlah ayat-ayat Tuhan. Karena dirasa masih belum cukup
usia untuk mendalaminya. Atau bisikan setan yang merasuk menjiwainya.
Lebih asyik dengan untaian kata-kata
romantis. Bukan karena sedang merasakan indahnya cinta. Tetapi keinginannya
yang begitu mendalam untuk bisa mencerna kata-kata cinta. Membuka kotak
kekosongan. Sehingga perlu rasanya untuk senyum selalu menebarkan pesona.
Tetapi dia hanya mengigau. Tadi
malam yang disentuh hanya soal-soal yang cukup membuat pusing kepala
proporsional itu. Rambut panjangnya hingga menutupi sebagian dari telinga
dengan bagian belakang tepat menyentuh batas kera atas itu terurai. Sebab soal
yang tak kunjung selesai. Hingga tepat
pukul 23.00 dia usaikan usahanya dengan jawaban seadanya.
Keinginan meletup-letup untuk
menyentuh buku kumpulan puisi. ingin sekali menikmati tumpahan penyair yang
berdialektika di dalamnya. Kalimat yang benar-benar berasal dari pengalaman
hidup. Sehingga suasana yang tergambarkan nyata dan hidup.
Diambilnya buku dan bersiaplah dia
dengan menaruh di atas sebuah bantal biru keputihan. Entah itu putih karena
memang warna, atau bekas liurnya. Bersiaplah dia dengan membuat secangkir kopi
hangat peneman malam sejuknya. Dikarenakan sangat tertariknya dia, buku itu
dipelisir cepat dengan nafsu yang mencuat kuat. Namun, ada yang menjanggal
hatinya sesaat.
“Seprtinya ada kertas yang berbeda
warna?” Gerutunya dalam hati sambil kembali membuka setiap lembar dengan
hati-hati. Terdapat sehelai kertas kecil dengan warna coklat di setiap
kelilingnya. Warna luka bakar itu tidak menyakitkan. Melainkan semakin
membuatnya semakin bagus dan terlihat lama.
‘Kualitas
Pemimpin Tergantung Pada Kualitas Yang Dipimpin” satu kalimat berat yang cukup
untuk membuatnya tertidur. Meninggalkan kopi hangat dan indahnya puisi-puisi 10
penyair ternama Indonesia.
Hari
ini pencalonan ketua kelas X-B. semua kandidat bersiap untuk mengungkapkan
gagasan terapiknya. Nama-nama tersusun terpampang di pintu kelas. Ada yang
memang maju karena kehendak sendiri, dan
ada pula yang disodorkan teman-temannya.
Anam.
Salah satu nama yang terdapat dalam 3 nama calon ketua kelas. Maju karena
kehendaknya sendiri. Namun meminta golongan menyebut-nyebut namanya supaya terlihat
dia maju karena diusung oleh masyarakat kelas. Sedang dua nama lain yaitu
caketuda dan caketiga. Itu benar sebuah nama. Karena tak sebegitu didengar,
biar lebih awam dipanggil ketua dua dan ketua tiga.
Setiap
calon diberi waktu sepuluh menit untuk mengungkapkan visinya. “Aku adalah
suparman. Kembaran supermen penyelamat alam. Aku adalah bakman. Kembaran batman
pembasmi kejahatan. Dan aku juga adalah spiner-man” akhir kalimat yang
dinantikan membawa sorak tepuk tangan malah membawa sebuah tanggapan.
“Iya
bener banget spiner-man. Kayak spiner, sukanya muter-muter Ha-hahhahaha”
Diikuti
oleh gelak tawa seluruh siswa dalam kelas itu. Sedangkan bu guru sebagai orang
yang harus adil memalingkan wajahnya. Bukan tidak mau melihat anak didiknya
diketawakan. Tapi supaya litih tawanya tidak dilihat oleh anak didiknya.
“Huusstt.
‘Dok. Dok. Dok.” Diketuknya papan putih itu dengan penghapus putih. Hingga
cukup keras suara yang ditimbulkan karenanya.
“Diam
semua. Kita harus balajar untuk menghargai orang lain. Jangan diketawakan…”
“Tapi
lucu kan bu” sahut cakedua dengan cukup berani.
“Iya
uga ceh…. Huahahaha kamu ini ya lucu Nam, Nam.”
Terbangunlah
si Wasis dengan senyum-senyum sendiri. Tak utuh ingatan dari mimpinya itu.
Tetapi dia cukup menikmati akhir daripada perjalanan syaraf otaknya. Namun,
seketika dia berubah ekspresi. Kopi yang dibuatnya kemarin malam telah dingin.
Buku yang berada di pangkuannya itu lusuh karena tempelan kepalanya. Turut
disertai dengan bagian pojok kanan yang basa sebab ketidurannya.
Menyesal
karena melewatkan satu malam yang berharga. ‘Aku harus jadi orang yang bahagia.
Usahlah sedih dengan yang kemarin, apalagi masa lalu. Biar dia menjadi kenangan
yang cukup memberinya pengalaman. Meski beberapa waktu tetap menyakitkan’
Bersegera
untuk bebersih. Menyongsong pelajaran yang telah dinanti-nanti. Apalagi
inginnya dia bertemu dengan siapa itu si Anam yang sudah menghiburnya malam
itu.
Comments
Post a Comment