Sastra 20:
Bagaimana menilai suatu karya?
I(Ji)zini aku untuk bersilih
Dengan kawan yang kau pun sama
kenalnya
Tanpa berselisih silih merindu
tatapanmu.
Tiga
kata yang terangkai seketika ketika ada sayembara. Namun sayang, dia tercampak
dari adanya pola pikir yang berbeda. Kok bisa? Ah, iya. Perbedaan memang wajar
terjadi. Namun pondasi biar tetap kukuh apa adanya. Biar si konstruksi yang
menikmati kekokohan bangunan buatannya. Meski hanya di dalam mimpi atau alam
yang berbeda.
Jin
yang bukan Zin. Memang ada salah satu dari mereka yang baku. Kuat dengan
banyaknya kepala yang menyokongnya. Bukan karena istiewa. Karena memang sudah
begitu adanya dari dulu dan juga sudah banyak yang setuju. Tapi kenapa Jin
seolah menakutkan.
Apa
iya di dalam cipta karya ada pakem yang tidak boleh dirubah. Diterobos tanpa
melukai perasaannya. Padahal di sana aku juga mendengar kata baru yang tak
biasa ku dengar. Namun, dia memang indah dan katanya tidak salah juga.
Nah,
jadi bisa saya tarik nilai istimewah bahwa luapkan apapun dan lakukan apapun
meski dia berbeda asal tidak salah.
Apa
iya Jin adalah hal yang tak biasa didengar? Tentu tidak. Dia sudah menjadi
pelukan daripada lidah orang jawa. Kurang medok kalau tidak Jin. Dianggap sok
fasih kalau pakai Zin. Tapi, itu pelajaran yang cukup bagus dan sangat berharga
bagiku. Bahwa kalau ingin diangkat, maka perlu penyesuaian. Seperti bunglon.
Seberapa dia pintar dia menyesuaikan diri dengan lingkungannya agar tidak
dimakan oleh pemangsa. Bukan hanya sebagai defend. Sangat banyak manfaat dari
penyesuaian.
Menyesuaikan
bukan berarti menjadi. Berada dalam kandang sapi, bukan berarti kita sapi atau
kita menjadi sapi. Ketika bertemu orang tiba-tiba menyapa dengan “HMMOOOO”. Di
sampingnya ada rumput nganggur lalu dicamili. Ketika dia punya susu, tiba-tiba
ingin menyusui. Atau ketika hari qurban, dia ingin disembelih. Tidak.
Jin
adalah nyanyian suku. Yang jawa biasa menyebutnya dengan itu. Dengannya berkata
bahwa ada yang berbeda. Memang akan tidak terbaca jika hanya sepintas. Biar si
pemilik yang mempunyai tafsir berbeda. Tatanan biar menjadi tuntunan. Namun
keinginan biar senantiasa menebar dengan harapan.
Kalau
dalam sastra atau tulisan bukan ilmiah. Entah dalam bentuk sajak, prosa,
ataupun apa saja yang bebas sifatnya. Tersusun mengular. Tersusun mengereta,
panjang dan saling sambung. Atau apapun bentuk dari tulisan itu. Masing-masing
memiliki arti yang cukup mendalam bagi penulis. Aku sangat yakin. Tapi sulit
untuk dibawa keluar.
Sehingga
yang ada adalah makna daripada tulisan. Bukan pilihan kata yang dipandang salah
di mata umum. Kalau pembacaan yang syahdu, boolehlah. Asyik juga dan sulit
juga. Nantinya yang didapat adalah keindahan dan kedalaman makna. Bukan
aturan-aturan yang selalu mengekang dan membuat suasana mencekam…..
Bahwasanya tidak ada yang salah dengan pola kata, hanyalah pola dan pikir berkata satu diantaranya adalah furqon.
ReplyDelete